Polri siap beradaptasi dengan putusan MK

Polri siap beradaptasi dengan putusan MK terkait pasal sebar hoaks

Jakarta (ANTARA) –
Direktur Kantor
 Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan Polri akan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana Penyebaran Berita Bohong, yang merupakan kebohongan palsu. Tentu saja Polri akan beradaptasi, kemudian mengkaji, menyerahkan dan mematuhi peraturan terkait, kata Trunoyudo di Jakarta, Jumat.

Seorang petugas polisi Star menekankan bahwa undang-undang baru tersebut tidak berlaku surut, sehingga pernyataan palsu atau pencemaran nama baik dari polisi masih berlaku. Menurutnya, non-retroaktif berarti undang-undang hanya berlaku pada peristiwa yang terjadi setelah undang-undang tersebut diundangkan.

“Tentu saja langkah yang kami ambil tidak berdampak pada ikan,” ujarnya. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan kasasi penyidikan yang diajukan Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanty, serta membatalkan pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana tentang penyebaran berita bohong atau informasi bohong.

“Dalam pokok permohonan, berikan sebagian dari permohonan pemohon. “Menyatakan Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Undang-Undang Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9) bertentangan dengan Undang-Undang Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum,” kata Ketua MK. Pengadilan Hukum. Pengadilan Suhartoyo membacakan perkara tersebut dalam sidang peninjauan kembali, secara online dari Jakarta, Kamis (21/3).

Mahkamah Konstitusi menilai ketentuan “laporan atau pemberitaan palsu” dan “laporan yang tidak pasti atau berlebihan” yang terdapat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 bersifat ambigu. Menurut Mahkamah Konstitusi, sulit untuk menentukan sejauh mana atau tingkat kebenaran informasi publik. Ketidakjelasan cara atau tata cara mengungkapkan pikiran atau gagasan dapat menghambat kemampuan berpikir seseorang. Lebih lanjut, pengadilan juga menilai hal tersebut dapat melanggar kebebasan berpendapat warga negara.

“Oleh karena itu, negara tidak dapat membatasi kebebasan berekspresi dengan menggunakan ketentuan atau syarat yang cukup bahwa apa yang disampaikan itu benar atau tidak salah,” kata Hakim Arsul Sani saat membacakan hal tersebut. Lebih lanjut, PTUN juga menyatakan pasal “laporan atau pengumuman palsu” dan “laporan yang tidak pasti atau berlebihan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 merupakan peraturan yang melarang berbicara tanpa alasan di muka umum. ruang angkasa.

Bendera ini dapat dijadikan dasar hukum untuk menghukum pembuat berita palsu, tanpa merinci tindakan pembuatnya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi menilai asas pasal 14 dan 15 UU 1/1946 dapat memicu pasal plastik sehingga dapat menimbulkan ketidakamanan hukum.

Selain itu, ada juga batasan atau parameter sewenang-wenang yang menentukan tingkat risiko dan “gangguan atau kekacauan” yang dialami subjek. Menurut MK, penggunaan istilah “gangguan” pada pasal 14 dan 15 UU 1/1946 bisa menjelaskan banyak hal.

Jika digabungkan dengan hak atas kebebasan berpendapat, prinsip ini dapat mengancam hak-hak masyarakat, meskipun tujuannya adalah untuk memberi penghargaan atau mengkritik pihak yang berwenang. “Karena yang bisa atau bisa terjadi adalah penilaiannya bersifat pribadi dan bisa menimbulkan kesewenang-wenangan,” kata Arsul Sani.

Gugatan tersebut diajukan Haris dan Fatiah bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).